Archive for October, 2009

Uang Kertas, Uang Sejati, Uang Elektronik, dan Kredit (Hutang)

UANG KERTAS DAN UANG SEJATI
Uang….., apa itu uang? Uang, katanya, alat pembayaran yang syah. Itu definisi yang tertulis pada uang kertas resmi yang dikeluarkan sebuah negara yang berdaulat. Uang (kertas) dalam kenyataan menjadi alat pemajakan terselubung terhadap tabungan melalui inflasi alias pembanyakan (pencetakan) uang. Logisnya, kalau uang kertas diperbanyak jumlahnya maka nilainya turun. Akibat selanjutnya adalah nilai riil tabungan turun. Misalnya sejak rupiah dideklarasikan sebagai uang resmi republik Indonesia dengan dektrit no 19 tahun 1946 pada tanggal 25 Oktober 1946 sampai Oktober 2009, nilai riilnya tinggal 0.0000003% nya saja. Ketika diresmikan 1 gr emas harganya Rp 2. Dan 63 tahun kemudian harga emas Rp 330,000 per gram. Angka Rp 330,000 itu telah mengalami penyunatan nol disana sini sebanyak 3 kali. Kalau angka-angka itu dibiarkan, maka Rp 330,000 tidak lain adalah jelmaan dari Rp 6,600,000,000 uang tahun 1946.

Proses ini tidak perlu memakan waktu 1 abad, tetapi hanya 63 tahun saja. Artinya para pejuang kemerdekaan kalau ketika berjuang berumur 20 tahun, maka 63 tahun kemudian berumur 83 tahun, masih bisa melihat proses terjadinya menggerusan nilai riil rupiah. Entah apa yang terpikir dalam benak mereka kalau melihat hal seperti ini. Bagi orang waras uang semacam ini sama sekali tidak bisa ditabung karena tidak menyimpan nilai. Harga kambing selama 63 tahun ini sekitar 3 – 4 gram emas. Artinya emas tidak mengalami peningkatan nilai. Oleh sebab itu uang kertas tidak disebut uang sejati. Uang sejati adalah uang yang tidak bisa dicetak, diperbanyak, diturunkan nilai riilnya oleh para politikus dan penguasa. Emas sering disebut uang sejati, karena nilainya relatif tetap. Harga kambing, kerbau atau makanan dalam emas, kisarannya tetap sejak jaman nabi Muhammad, Jesus sampai sekarang. Seekor kambing harganya 3-4 gram emas. Anda bisa lihat dibuku hadist.

SULAPAN BARU

 

Politikus dan Pemerintah Menyukai Inflasi yang menyengsarakan Rakyat
Inflasi sangat disukai politikus. Kalau harga barang naik maka pajak juga naik. Nilai riil pajak juga naik. Misalnya pajak penjualan, pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak bumi dan bangunan.

Contoh lain seandainya seseorang membeli rumah beserta tanahnya seharga 100 juta rupiah. Kalau dipecah nilainya, 50 juta rupiah untuk tanahnya dan 50 juta rupiah untuk bangunannya. Setelah 12 tahun, kalau mau membeli unit rumah yang sama, baru, harganya sudah naik menjadi Rp 480 juta karena inflasi sebesar 17% per tahun. Inflasi 17% per tahun untuk Indonesia adalah biasa di era reformasi. Angka 17% itu adalah ekspansi M2, bukan angka resmi inflasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang biasanya jauh lebih kecil. Seperti kata Mark Twain yang populer: “Ada penipuan kecil, ada penipuan besar dan ada statistik”. Kembali pada harga rumah yang sudah naik 480% itu, atau lebih tepatnya nilai uang sudah turun 79%. Karena tidak dirawat, rumahnya hancur dan kalau dijual harga bangunanya praktis nol. Jadi harganya (setelah 12 tahun) adalah 240 juta rupiah. Masih ada kenaikan harga nominal. Kalau tanah ini dijual maka akan kena pajak karena ada keuntungan pemindahan aset. Kenaikan nominal dari 100 juta rupiah menjadi 240 juta rupiah dianggap sebagai keuntungan yang bisa dipajaki. Padahal secara riil ada kerugian sebesar 50% atau 240 di saat menjual karena adanya depresiasi. Daya beli Rp 240 juta di saat menjual kembali rumah yang sudah hampir roboh dan tanahnya hanya 50% dari daya beli Rp 100 juta 12 tahun sebelumnya. Kalau uang yang Rp 240 juta itu dibelikan kambing atau sapi atau beras, hanya akan memperoleh separo dari apa yang bisa dibeli dengan Rp 100 juta pada 12 tahun sebelumnya.

Sudah rugi dipajaki pula. Alangkah licinya pemerintah. Transaksi yang secara riil rugi masih dikenai pajak. Oleh sebab itu politikus punya kepentingan untuk membuat inflasi dan harga naik. Tanpa ada inflasi, pemerintah tidak bisa memajaki transaksi yang secara riil rugi.

Inflasi dengan Kredit di Ranah Uang Fiat
Mencetak uang dan menggunakan uang cetakan itu untuk pembiayaan pemerintah adalah cara yang kasar. Kiat seperti ini lama-lama ketahuan seperti di Zimbabwe pada dekade 2000 atau Indonesia tahun 1964 – 1967, sehingga rakyat berusaha menangkalnya dengan tidak lagi menabung dengan uang kertas. Oleh sebab itu penguasa dan bank punya kiat baru yaitu dengan hutang, kredit, virtual money, uang maya, uang elektronik. Cerdiknya, dengan virtual money, kredit, hutang, tidak pandang, apakah negara itu menganut uang dengan dukungan emas atau dengan tidak sama sekali. Berikut ini kita akan melihat bagaimana penciptaan uang virtual dikedua sistem. Paragraf pertama adalah penciptaan uang virtual dalam sistem uang fiat. Kemudian, dengan tulisan yang sama, kata kertas akan diganti dengan kata emas.

Sulap ini disebut fractional reserve banking (FRB). Misalnya di ekonomi secara fisik ada 100 juta dollar uang kertas. Tentu saja uang ini disimpandi bank. Oleh bank uang kertas ini dipinjamkan 90%nya (atau 90 juta dollar) ke pada pelaku ekonomi. Dan uang kertas ini di bank dititipkan juga. Secara fisik uang kertas ini tidak berpindah dari sistem perbankan. Bisa saja dari satu bank ke bank lainnya. Jadi kredit yang diciptakan sebesar 90 juta dollar sebenarnya hanya catatan elektronik saja.

Kemudian, uang yang 90 juta dollar itu, kemudian dipinjamkan lagi 90%nya (81 juta dollar). Seterusnya berlaku hal yang sama. Berikutnya 72.9 juta dollar diciptakan. Dan seterusnya, sehingga secara teoritis dari 100 juta dollar bisa menciptakan kredit setara dengan 800 juta dollar sehingga hutang dan uang kertas menjadi setara dengan 900 juta dollar.

Uang virtual yang berasal dari uang kertas ini oleh ‘pemiliknya’ dipakai untuk membeli barang, membeli saham, rumah, berspekulasi. Oleh sebab itu harga barang akan naik, karena jumlah uang, termasuk yang virtual, naik. Terjadi inflasi. Terhadap harga, effek pertumbuhan uang virtual alias hutang atau kredit ini (hampir) sama dengan uang kertas yang asli.

Inflasi dengan Kredit di Ranah Uang Berbasis Emas
Nah mengenai uang kertas sudah jelas. Sekarang dengan menggunakan 3 paragraf yang sama di atas, kita ganti kata kertas dengan emas dan dollar dengan gram.

Sulap ini disebut fractional reserve banking (FRB). Misalnya di ekonomi secara fisik ada 100 juta gram uang emas. Tentu saja uang ini disimpan di bank. Oleh bank uang emas ini dipinjamkan 90%nya (atau 90 juta gram) kepada pelaku ekonomi. Dan uang emas ini dititipkan di bank juga. Secara fisik uang emas ini tidak berpindah dari sistem perbankan. Bisa saja dari satu bank ke bank lainnya. Jadi kredit yang diciptakan sebesar 90 juta gram sebenarnya hanya catatan elektronik saja.

Kemudian, uang yang 90 juta gram itu, kemudian dipinjamkan lagi 90%nya (81 juta gram). Seterusnya berlaku hal yang sama. Berikutnya 72.9 juta gram diciptakan. Dan seterusnya, sehingga secara teoritis dari 100 juta gram bisa menciptakan kredit setara dengan 800 juta gram emas sehingga hutang dan uang emas menjadi setara dengan 900 juta gram.

Uang virtual yang berasal dari uang emas ini oleh ‘pemiliknya’ dipakai untuk membeli barang, membeli saham, rumah, berspekulasi. Oleh sebab itu harga barang akan naik, karena jumlah uang, termasuk yang virtual, naik. Terjadi inflasi. Terhadap harga, effek pertumbuhan uang virtual alias hutang atau kredit ini (hampir) sama dengan uang emas yang asli.

Sama bukan? Itu namanya sulap baru….., mungkin juga bukan, karena cara ini sudah dilakukan puluhan, bahkan ratusan tahun lalu. Sistem uang kertas dan uang berbasis emas hasilnya sama saja jika FRB berlaku.

HUTANG BUKAN UANG DAN HARUS DIBAYAR ATAU DIKEMPLANG
Ada perbedaan antara uang fisik (apakah itu uang kertas atau emas) dengan kredit atau hutang. Hutang harus dilunasi dan kredit harus ada penyelesaiannya. Lagi pula menciptakan kredit juga bukan tidak terbatas seperti menciptakan uang kertas. Sistem bisa menciptakan kredit selama kreditur mau karena menganggap resiko debitur untuk ngemplang (gagal bayar) kecil. Calon debitur juga menganggap bahwa dia masih mau dan mampu membayar hutangnya. Artinya dalam suatu sistem ekonomi, pertumbuhan penghasilan (gaji) masih lebih besar dari pertumbuhan kredit. Kalau pertumbuhan gaji tidak naik secepat hutangnya, pada suatu titik, debitur akan mengalami kesulitan membayar hutangnya. Sayangnya menentukan titik ini tidaklah mudah, karena akibat ekspansi kredit, harga asset juga naik sehingga memberikan perasaan “bertambah kaya” dan beranggapan bahwa angunan bisa menutup hutangnya. Padahal sebenarnya harga agunan yang ada adalah harga bubble. Harga karena ekspansi kredit. Ekspansi kredit terus berlanjut dibawah restu pemerintah yang dengan senang hati memunguti pajak untuk menggemukkan kantong para politikus dan birokrat.

Persoalan baru timbul ketika bubble kredit pecah. Jangankan membuat hutang baru, lagi untuk membayar hutangnya sudah debitur tidak mampu. Di saat seperti ini lebih banyak kredit harus diselesaikan, dari pada kredit yang diciptakan. Terjadilah pengkerutan, penciutan, kontraksi kredit. Itu yang disebut deflasi. Pada periode deflasi, bank komersial enggan memberikan kredit karena takut resiko gagal bayar. Calon debitur juga tidak mau terbebani lagi. Karena uang virtual alias kredit berkurang, maka uang yang mengejar asset, jasa dan barang juga berkurang. Akibat permintaan yang menurun maka harga juga turun.

Deflasi tidak mungkin terjadi pada kondisi dimana kredit masih sedikit, seperti di Zimbabwe atau Indonesia tahun 1964 – 1967 dan sebelumnya. Untuk terjadinya deflasi diperlukan kondisi dimana kredit sudah besar. Dengan kata lain deflasi adalah fenomena yang sama dengan pecahnya bubble kredit.

Seperti biasanya pemerintah dan politikus akan berusaha untuk mencegah terjadinya deflasi. Padahal deflasi itu bagus untuk yang mempunyai tabungan, karena harga-harga turun. Tetapi tidak bagus bagi pemerintah karena pendapatannya akan turun. Dengan segala upaya pemerintah bersama dengan bank sentral akan berusaha untuk menangkal dan mencegah berlanjutnya deflasi. Seperti yang diresepkan oleh dokter-dokter Keynesian, pemerintah bisa menaikkan pengeluaran dimasa seperti ini. Tentu saja dananya dari hutang (untuk menutup defisit anggaran belanja). Usaha ini ada yang berhasil dan ada juga yang sulit untuk sukses. Tergantung pada besarnya bdget negara dibandingkan dengan kredit yang ada.

Pada krisis kredit yang dimulai tahun 2007 ini, di US total uang dan kredit adalah sekitar $ 55 triliun sedangkan budget belanja negara “hanya” $6.4 triliun. Artinya untuk 1% kontraksi kredit, diperlukan kenaikan belanja pemerintah sebesar 10% . Untuk 4% kontraksi kredit, diperlukan 40% defisit belanja negara! Silahkan pompa saja. Entah apa yang bisa dilakukan pemerintah (dalam hal ini pemerintah US) untuk mencegah deflasi.

HUTANG $100,000 TIDAK SAMA DENGAN $2 TRILIUN
The Fed selama krisis kredit ini telah menambah monetary base nya sebesar kurang lebih 100% atau $1 triliun dengan memberikan kredit kepada bank-bank komersial dan menerima asset-asset beracun sebagai agunannya. Sulit untuk mengatakan, sampai seberapa jauh the Fed masih mau menerima asset-asset busuk itu sebagai agunan, karena the Fed adalah kumpulan bank swasta. Swasta punya kepentingan cari untung. The Fed lebih suka menerima surat hutang pemerintah. Jadi bisa saja the Fed masih mau menerima surat hutang pemerintah. Bagaimana dengan surat-surat hutang pemerintah yang dipegang negara lain? Apakah mereka akan membuangnya?

Kalau pemerintah berhutang untuk menambal defisit anggarannya, ada orang yang berpendapat bahwa akan banyak yang tidak mau membeli surat hutang pemerintah, apa lagi kalau pemerintah sudah kebanyakan hutang. Persoalannya terletak pada sifat mausia. Kalau anda punya hutang $100,000 maka anda yang tidak bisa tidur ketika jatuh tempo dan belum punya dana untuk melunasinya. Tetapi kalau hutang itu sebesar $ 2 triliun, krediturnya, banknya yang tidak bisa tidur dan cemas kalau anda belum punya dana. Bahkan kalau perlu, kreditur adan bank akan memberi perpanjangan waktu atau kredit tambahan.

Demikian juga Cina dan Jepang yang punya banyak surat hutang pemerintah US. Mereka tidak mau kalau US gagal bayar dan ngemplang. Jangankan gagal bayar, Cina dan Jepang juga tidak ingin melihat nilai hutangnya turun. Jadi mereka punya kepentingan untuk menjaga nilai dollar stabil dan kuat.

Disamping itu Cina masih memerlukan konsumen US untuk membeli produk-produk mereka. Supaya kompetitif, negara-negara yang berbasis ekonomi eksport akan melakukan devaluasi kompetitif dengan menurunkan nilai mata uangnya terhadap dollar atau mata uang konsumennya.

APA YANG TERJADI KALAU KREDIT BERKONTRAKSI?
Bayangkan kredit semakin langka. Barang langka dan diperlukan akan mahal. Apalagi kalau jumlahnya semakin berkurang. Semakin cepat kontraksinya, semakin cepat pula nilainya bertambah. Apalagi kalau ditambah dengan persepsi dan emosi. Lukisan Sapto Hudoyo naik berkali-kali lipat ketika beliau meninggal, karena dengan meninggalnya sang pelukis, maka tidak ada lagi penciptaan lukisan Sapto Hudoyo. Sama juga dengan US dollar. Dimasa deflasi akan mengalami appresiasi nilai, terhadap mata uang yang berekspansi atau mata uang yang kontraksinya lebih lambat.

Tentu saja pemerintah tidak bisa terus-menerus berhutang untuk menutupi defisit anggarannya. Hutang pemerintah harus dibayar. Dan dana ini berasal dari pajak. Pada akhirnya pemerintah harus dihadapkan pada pilihan berhutang terus dan bermuara pada menggagal bayarkan hutangnya. Atau menstop semua usaha-usaha mencegah deflasi dan kembali kepada anggaran yang berimbang, tanpa defisit.

Sekian dulu……, itulah tesis saya untuk mendukung opini saya, kenapa US dollar harus menguat. Lain kali kita akan bahas tentang resiko (hiper)-inflasi setelah masa deflasi. Sampai nanti………….
sumber:  Ekonomi Orang Waras dan Investasi